Banyak bangunan di berbagai daerah Indonesia diketahui belum memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) meski aturan ini telah menggantikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021.
Fenomena ini terjadi karena sebagian pemilik bangunan belum memahami bahwa PBG kini menjadi dokumen wajib bagi setiap pendirian, renovasi, maupun perubahan fungsi bangunan. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan risiko hukum dan keselamatan.
Menurut Rangga Ardiansyah, S.H praktisi hukum dan Senior Legal, keterlambatan pengurusan PBG bisa menimbulkan sanksi serius.
“Banyak pemilik bangunan mengira IMB lama masih berlaku atau merasa proses PBG rumit. Padahal, tanpa PBG, bangunan berpotensi dikenakan sanksi administratif berupa denda, penghentian sementara, bahkan pembongkaran,” jelas Rangga
Rangga menambahkan, selain risiko sanksi, bangunan tanpa PBG sulit dijadikan agunan perbankan atau dialihkan kepemilikannya. “Legalitas PBG sangat penting untuk menjaga nilai properti dan melindungi pemilik dari sengketa hukum di kemudian hari,” tegasnya.
Pemerintah sendiri telah menyiapkan sistem Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah proses pengajuan PBG. Pemohon cukup menyiapkan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (PKPL), dokumen teknis, dan rencana arsitektur sesuai ketentuan tata ruang.
Sebagai solusi, Rangga mendorong pemilik bangunan segera memeriksa status legalitas mereka.
“Jangan menunggu sampai ada teguran. Segera lakukan pengecekan tata ruang dan ajukan PBG. Kami siap mendampingi prosesnya, mulai dari persiapan dokumen, verifikasi teknis, hingga terbitnya PBG,” ujarnya.
Pihak pemerintah daerah diharapkan juga gencar melakukan sosialisasi dan pendampingan agar masyarakat paham prosedur PBG. Edukasi yang tepat dapat menekan angka bangunan tak berizin dan menciptakan kota yang tertib tata ruang
